Notification

×

Iklan

Ini Ternyata 3 Pemicu Rontoknya Harga Sawit Rakyat

Minggu, Juni 26, 2022 | 20:24 WIB Last Updated 2022-06-26T14:32:46Z
Foto : Bangkapos.com

550 Views

KAMPOENG NEWS.COM - Dikutip dari media terkemuka Bangkapos.com. Nasib petani sawit kecil sedang terpuruk saat ini akibat anjloknya harga sawit rakyat. Jatuhnya harga sawit rakyat terjadi di sejumlah daerah Indonesia.

Setidaknya ada tiga pemicu rontoknya harga sawit rakyat, mulai dari stok CPO melimpah, proses perizinan yang lambat hingga kualitas CPO menurun.

Untuk itu, pemerintah diminta  memperhatikan nasib petani sawit kecil dan segera mengambil langkah stategis untuk mengatasi anjloknya harga sawit rakyat.

Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus mengatakan, saat ini nasib petani sawit kecil mengenaskan.

Deddy menganalogikan nasib para petani itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

"Padahal saat ini harga pupuk melonjak tajam diluar daya beli petani, padahal kalau tidak dipupuk maka dipastikan tahun depan produktivitas sawitnya pasti menurun".

Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan, pemanenan, pengangkutan hingga beban utang bank atau rentenir dan biaya hidup," ujar Deddy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/6/2022), dilansir dari Kompas.com.

Anggota legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini mempertanyakan anomali antara harga global, domestik dengan harga ke-ekonomian TBS dan minyak goreng yang tidak sinkron.

Menurut dia, saat ini demand  crude palm oil (CPO) global terlihat mengalami penurunan hampir 30 persen dan harga patokan sudah diangka 4.632 Ringgit Malaysia (1.053 dollar AS) atau sekitar Rp. 15.584/kg per 22 Juni 2022.

"Angka itu jika dikurangi pajak ekspor, pungutan levi, dan biaya port diluar kewajiban DMO berarti harga CPO domestik seharusnya berada di Rp. 11.026/kg," kata dia.

Deddy menjelaskan, jika merujuk harga domestik yang mengacu pada lelang KPB tersebut ditambah kewajiban DMO 16,7 persen, maka harga CPO harusnya berada di Rp 10.780/kg.

Jika harga domestik sebesar itu maka logikanya harga keekonomian TBS kelapa sawit petani (dengan rendemen 20 persen) seharusnya berada di atas Rp. 2.000/kg tergantung daerahnya atau rata-rata Rp. 2.156/kg.

Tetapi, fakta menunjukkan harga di lapangan harga TBS kelapa sawit berada di bawah Rp 1.500, bahkan dibanyak daerah sudah terjun bebas di kisaran Rp 400–Rp. 1.000/kg.

"Sungguh mengerikan bahwa harga sawit produksi petani terpangkas hingga 80 persen dibandingkan sebelum moratorium.

Sementara perusahaan sawit besar tidak merasakan dampak serupa jika mereka memiliki pabrik kelapa sawit atau memiliki usaha yang terintegrasi. Yang menderita itu rakyat petani kecil," ungkapnya.

Menurut Deddy, pemicu rontoknya harga TBS kelapa sawit petani di lapangan disebabkan beberapa hal.

Pertama, stok CPO dalam negeri sudah meluap, sehingga Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) tidak lagi mampu menampung sawit rakyat.

Tangki CPO yang ada sudah penuh dan mengalami kelebihan pasokan, akhirnya harga TBS terjun bebas.

Kedua, proses perizinan ekspor yang sangat lambat karena baru diberikan setelah kewajiban DMO 85 persen tiba di pabrik minyak goreng yang ditunjuk.

Prosedur ini sangat memakan waktu dan menyebabkan tangki penyimpanan meluap dan tidak mampu menampung.

Bahkan, karena panjangnya proses tersebut kualitas CPO juga jadi terpengaruh, sebab jika TBS yang diolah perusahaan kelapa sawit (PKS) sudah lewat matang maka kadar asam lemak bebas (ALB) menjadi tinggi. Padahal standar CPO yang baik itu harus memiliki kadas ALB di bawah 3 persen.

Ketiga, banyak pengusaha CPO dan eksportir yang tidak bersedia memanfaat kebijakan darurat ekspor (flushing out) yang dibuat pemerintah akibat tambahan pungutan sebesar 200 dollar AS per MT.

Kewajiban tambahan ini menjadi disinsentif sebab menjadi tidak ekonomis karena harga global sudah menurun jauh.

"Yang terjadi akhirnya sementara ini, stok CPO melimpah dan yang punya pabrik minyak goreng menahan cadangannya," ucap dia.

Oleh karena itu Deddy menyarankan agar pemerintah melalui Kemendag segera memangkas proses perizinan ekspor, sehingga ekspor CPO dapat berjalan lebih cepat.

Hal ini akan mempercepat perputaran pasokan dan meningkatkan kapasitas tangki penyimpanan CPO.

Selanjutnya, tambahan kewajiban sebesar 200 dollar AS per MT sebaiknya dicabut, karena tidak ekonomis dan menjadi disinsentif ekspor yang menyebabkan penumpukan stok dan membuat harga TBS kelapa sawit ambruk.

Pemerintah juga harus mempertimbangkan dinamika harga global untuk mengevaluasi kebijakan DMO, sebab saat ini harga CPO domestik setelah dikurangi pajak ekspor dan levi sudah menyentuh Rp. 11.026/kg.

"Selanjutnya pemerintah seharusnya mulai membuat skenario baru untuk mengamankan pasokan bahan baku di masa depan dan mulai membangun cadangan nasional minyak goreng," kata Deddy.

Menurutnya, dengan harga CPO domestik yang ada saat ini ditambah biaya olah plus margin (Rp. 1.500/kg), maka harga minyak goreng curah di pabrik seharusnya di harga Rp 12.526/kg atau Rp. 11.525/liter.

Dengan demikian harga keekonomian minyak goreng curah seharusnya sudah berada di bawah HET yang sebesar Rp 14.000/kg.

"Saya perkirakan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama mekanisme pasar akan melakukan koreksi terhadap harga minyak goreng secara keseluruhan.

Tanpa melakukan apa pun, harga migor curah akan turun di bawah HET dan minyak goreng kemasan harganya akan berada di bawah Rp 20.000/kg," tutupnya.

Desakan dari Serikat Petani Indonesia

Merosotnya harga sawit terjadi tepat satu bulan setelah Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor crude palm oil (CPO).

Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah segera mengeluarkan kebijakan responsif dan solutif untuk mendongkrak harga sawit.

 Baca juga: Sawit Tak Berharga Lagi Bikin Petani Merugi, SPI Desak Pemerintah Segera Cari Solusi

SPI menilai saat ini harga sawit sudah pada titik nadir karena petani sudah sangat merugi.

"Ini sudah sangat luar biasa, sawit yang jadi komoditas ekspor seperti tidak ada harganya sama sekali," kata Ketua Umum SPI Henry dalam siaran persnya dikutip dari Kompas.com, Jumat (24/6/2022).

Di Pasaman Barat, Sumatera Barat, harga sawit sudah Rp 600 per kilogram.

Henry memaparkan, harga sawit yang diterima para petani SPI di wilayah lain juga kompak mengalami tren penurunan yang signifikan.

"Bahkan di Tanjung Jabung Timur, harga TBS (tandan buah segar) mencapai di bawah Rp 500 per kilogram kalau aksesnya jauh dari jalan. Ini kan sudah kelewatan. Laporan hari ini ada yang sampai Rp 300 per kilogram," sambungnya.

Henry menjelaskan, terjun bebasnya harga sawit ini karena Indonesia dibawah cengkraman korporasi global sawit.

"Mendesak sudah ini agar kita membangun sistem persawitan di Indonesia yang tidak tergantung dari pasar internasional yang dikuasai oleh korporasi-korporasi global.

Hajat hidup petani, orang banyak, dikuasai oleh cukong-cukong transnasional perseorangan yang pemerintah kita pun hampur tidak berdaya melawannya," paparnya.

Penggunaan BPDKS untuk atasi masa krisis petani sawit Oleh sebab itu, SPI meminta pemerintah melalui penegak hukum agar menindak perusahaan sawit yang membeli TBS di bawah harga pemerintah.

"Jadi kalau ada pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli dengan TBS petani dengan harga rendah harus ditindak. Bukan tidak memungkin agar PKS tersebut ditutup, lalu diambil alih oleh pemerintah, ini levelnya udah level krisis.

 Baca juga: Keran Ekspor CPO Sudah Dibuka, Harga TBS Kelapa Sawit Malah Semakin Anjlok  

Lebih lanjutnya, izin ekspor perusahaannya dicabut juga. Dana segar yang ada di di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa dialokasikan untuk atasi masa krisis ini, bukan hanya memanjakan korporasi," papar Henry.

"Bangun pabrik-pabrik mini kelapa sawit di tingkat lokal, juga pabrik minyak goreng dan minyak makan merah pengelolaannya berikan kepada petani melalui koperasi, kalau memang serius ini bisa segera dikerjakan pemerintah," sambungnya.

Mendag Zulkifli Hasan Tak Percaya

Beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan tak percaya harga sawit masih murah. Sebab, saat ini ekspor minyak sawit mentah atau CPO sudah kembali dibuka.

“Jangan katanya, harus ada data. Sekarang DMO-nya sudah terpenuhi, ekspornya dipercepat. Kalau sudah terjadi sebetulnya tidak ada lagi TBS turun. Harganya mahal kok. Masak TBS-nya murah, kalau semua tertib normal kok,” kata Zulkifli saat melakukan kunjungan kerja di Pasar Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (16/6/2022), dikutip dari Bisnis. com.

Zulkifli mengklaim, sesuai mekanisme pasar, harga TBS kembali normal.

"Kemarin setop tidak ada yang beli harganya murah, saya kira ada hukum pasarlah,” ujar Ketua Umum PAN itu.
Sumber : Bangkapos.com
×
Berita Terbaru Update